Saturday, February 28, 2009

Little Things

Too often we don’t realize what we have until it is gone.
Too often we wait too late to say “I’m sorry – I was wrong.”
Sometimes it seems we hurt the ones we hold dearest to our hearts,
And we allow foolish things to tear our lives apart.
Far too many times we let unimportant things into our minds,
And then it’s usually too late to see what made us blind.
So be sure that you let people know how much they mean to you.
Take that time to say the words before your time is through.
Be sure that you appreciate everything you’ve got,
And be thankful for the little things in life that mean a lot.

Mengaku Salah Belum Tentu Kalah

Dahulu kala ada sebuah cerita: di gunung ada dua kuil biarawan Buddha, bhiksu di kuil A kerap bertengkar, saling bermusuhan, dan hidup sengsara. Sebaliknya bhiksu di kuil B ramah tamah, setiap orang selalu diiringi dengan senyum di wajah dan hidup bahagia. Karenanya, kepala biara kuil A menjadi penasaran lalu datang minta petunjuk bhiksu dari kuil B. “Mengapa kalian bisa menjaga suasana gembira selamanya dalam biara?” Bhiksu dari kuil B menjawab, “Sebab kami kerap melakukan kesalahan.”

Di kala ketua dari kuil A merasa bingung, tiba-tiba ia melihat seorang bhiksu pulang tergesa-gesa, dan karena tidak hati-hati ia terpeleset saat masuk ke aula, bhiksu yang tengah membersihkan lantai segera menghampiri, dan membantunya berdiri sambil berkata, “Ini salahku, pel lantainya terlalu basah!” bhiksu yang berdiri di depan pintu juga ikut masuk dan dengan nada menyesal berkata: “Ini salahku, tidak memberitahumu kalau lantainya sedang dipel.” Bhiksu yang dibantu berdiri dengan perasaan bersalah dan menyalahkan dirinya itu berkata, “Tidak! Tidak! Ini salahku, saya sendiri yang tidak berhati-hati!” Kepala biara dari kuil A yang minta petunjuk menyaksikan pemandangan itu, melihat itu ia pun mengerti, dan sudah tahu jawabannya.

Kadang-kadang, demi melindungi diri sendiri dan mengelakkan tanggung jawab lalu bertengkar dengan orang lain. Mengaku salah itu belum tentu kalah, sebab dengan mengaku salah bukan saja bisa mengekspresikan tempaan individu, mengintrospeksi diri memberi dorongan semangat, bahkan bisa mengubah kekerasan menjadi kedamaian. Jika terjadi bentrokan antara teman, dan salah satu pihak lebih dulu mengaku salah, maka api peperangan pasti akan mereda separuh.

Dalam sepanjang hidup manusia, selalu akan memerankan berbagai peran yang tidak sama. Dalam keluarga, ketika budi pekerti anak-anak buruk, kita semestinya introspeksi diri apakah belum sepenuhnya menjalankan kewajiban mendidik mereka. Di kantor, ketika prestasi kerja bawahan tidak memuaskan, kita seyogyanya introspeksi diri apakah terjadi masalah dalam hal memberikan bimbingan atau pengelolaan. Di masyarakat, ketika semua orang menyalahkan buruknya lingkungan, kita semestinya introspeksi diri apakah kita sendirilah yang justru merusak lingkungan itu.

Anda dan saya yang tidak berarti ini mungkin tidak mampu berbuat apa-apa membalikkan jalannya peristiwa dunia, namun jika setiap jiwa dan individu bisa membina keberanian mengakui kesalahan, sikap yang bertanggung jawab terhadap perilakku induvidu, maka kedamaian dan kebahagiaan dalam sanubari itu akan terus tersebar luas.

Tongkat Besi Di asah Menjadi Jarum

Dahulu kala, ada seorang anak lelaki yang berbakat alami pintar, apabila ia melihat sesuatu yang tidak dimengerti dia senantiasa senang bertanya: mengapa? Setiap hari ia pergi ke sekolah, karena pada dasarnya pintar, sang guru selain menyukainya juga sering memujinya. Lambat laun ia menjadi sombong. Ada masanya ia malah sering membolos. Pada suatu hari ia bolos sekolah, sambil berjalan dan bermain. Tiba-tiba ia melihat seorang nenek tua sedang berjongkok di samping sebongkah batu besar dan ssdang mengasah sebatang tongkat besi di atas batu tersebut. Anak itu merasa tertarik lantas menghampiri dan bertanya kepada si nenek apa yang sedang dilakukannya? Wajah si nenek tersenyum penuh welas asih, berkata ramah kepadanya: “Saya sedang mengasah sebatang jarum bordir.” Anak itu bertanya dengan terperanjat: “Tongkat besi yang begitu gemuk, bagaimana mungkin diasah menjadi jarum bordir yang begitu lembut?” Nenek itu lagi-lagi menjawabnya dengan ramah: “Di dunia ini tidak ada hal yang sulit, hanya takut pada orang yang punya tekad. Asalkan kamu mencurahkan segenap perhatian, tongkat besi pasti bisa diasah menjadi jarum.” Dengan demikian telah mendidik dia, bahwa asalkan mau bertahan dengan konsisten, pasti bisa sukses. Semenjak saat itu, dia belajar dengan giat dan tak kenal lelah, akhirnya menjadi seorang penyair tersohor, guru besar pada jamannya, nama baiknya harum sepanjang masa.


Segala kesulitan sebenarnya dapat diatasi dengan memiliki keuletan dan ketegaran hati yang kuat.

Kehidupan Sang Elang

Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke-40. Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Waktu saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.
Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung unuk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal di sana selama proses transformasi berlangsung.
Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.
Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi.
Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai suatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan mengenakan. Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi mencapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru, dan menata masa depan dengan penuh keyakinan.
Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendri dan andalah sang penguasa atas diri sendiri. jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita. Anda adalah elang-elang itu dan perubahan pasti terjadi, maka itu kita harus berubah.


Sang elang yang harus bertransformasi, membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang amat berat. Namun akhirnya sang elang seolah lahir kembali dengan kekuatan baru. Demikian pula dalam kehidupan kita, manusia tidak bisa menghindar dari masalah-masalah kehidupan yang akan selalu datang menerpa. Jadi dalam menghadapi masalah kehidupan, manusia tidak boleh terpuruk dalam keputusasaan. Kita harus memupuk kekuatan dan dengan penuh ketegaran hati berusaha menghadapi dan melampaui masalah-masalah yang menghadang demi masa depan yang lebih baik.

You Are So Blessed

Pernahkah anda merasakan bahwa hidup itu bener-bener “bad” dan nggak berarti lagi… dan berharap, coba jika kita bisa ada di kehidupan yang lain! Saya akui, saya cukup sering merasa begitu. Saya pikir, hidup ini sepertinya hanya menambah kesulitan-kesulitan saya saja!” ‘Kerja menyebalkan’, ‘hidup tak berguna’, dan tidak ada sesuatu yang beres!! Tapi semua itu berubah. Sejak kemarin… Pandangan saya tentang hidup ini benar-benar telah berubah!

Tepatnya terjadi setelah saya bercakap-cakap dengan teman saya. Ia mengatakan kepada saya bahwa walau ia mempunyai dua pekerjaan dan berpenghasilan sangat minim setiap bulannya, namun ia tetap merasa bahagia dan senantiasa bersukacita. Saya pun jadi bingung, bagaimana bisa ia bersukacita selalu dengan gajinya yang minim itu untuk menyokong kedua orangtuanya, mertuanya, istrinya, dua putrinya, ditambah lagi tagihan-tagihan rumah tangga yang menumpuk. Kemudian ia menjelaskan bahwa itu semua karena suatu kejadian yang ia alami di India.

Hal ini dialaminya beberapa tahun yang lalu saat ia sedang berada dalam situasi yang berat. Setelah banyak kemunduran yang ia alami itu, ia memutuskan untuk menarik nafas sejenak dan mengikuti tur ke India. Ia mengatakan bahwa di India, ia melihat tepat di depan matanya sendiri bagaimana seorang ibu MEMOTONG tangan kanan anaknya sendiri dengan sebuah golok!! Keputusasaan dalam mata sang ibu, jeritan kesakitan dari seorang anak tidak berdosa yang saat itu masih berumur empat tahun, terus menghantuinya sampai sekarang. Anda mungkin sekarang bertanya-tanya, kenapa ibu itu begitu tega melakukan hal itu? Apa anaknya itu ‘so naughty’ atau tangannya itu terkena suatu penyakit sampai harus dipotong? Ternyata tidak!!! Semua itu dilakukan sang ibu hanya agar anaknya dapat ,,, MENGEMIS…!! Ibu itu sengaja menyebabkan anaknya cacat agar dikasihani orang-orang saat mengemis di jalanan. Saya benar-benar tidak dapat menerima hal ini, tetapi ini adalah KENYATAAN. Hanya saja hal mengerikan seperti ini terjadi di belahan dunia lain yang tidak dapat saya lihat sendiri.

Kembali pada pengalaman sahabat saya itu, ia juga mengatakan bahwa setelah itu ketika ia sedang berjalan-jalan sambil memakan sepotong roti, ia tidak sengaja menjatuhkan potongan kecil dari roti yang ia makan itu ke tanah. Kemudian dalam sekejap mata, segerombolan anak kira-kira enam orang anak sudah mengerubungi potongan kecil dari roti yang sudah kotor itu. Mereka berebutan untuk memakannya. Terkejut dengan apa yang baru saja ia alami, kemudian sahabatku itu menyuruh guidenya untuk mengantarkannya ke toko roti terdekat. Ia menemukan dua toko roti dan kemudian membeli semua roti yang ada di kedua toko itu. Pemilik toko sampai kebingungan, tetapi ia bersedia menjual semua rotinya. Kurang dari $100 dihabiskan untuk memperoleh 400 potong roti (jadi tidak sampai $0,25 / potong) dan ia juga menghabiskan kurang lebih $100 lagi untuk membeli barang keperluan sehari-hari. Kemudian ia pun berangkat kembali ke jalan yang tadi dengan membawa satu truk yang dipenuhi dengan roti dan barang-barang keperluan sehari-hari kepada anak-anak (yang kebanyakan CACAT) dan beberapa orang-orang dewasa di situ. Ia pun mendapatkan imbalan yang sungguh tak ternilai harganya, yaitu kegembiraan dan rasa hormat dari orang-orang yang kurang beruntung ini.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa heran bagaimana seseorang bisa melepaskan kehormatan dirinya hanya untuk sepotong roti yang tidak sampai $0,25! Ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna, pekerjaan yang baik, juga keluarga yang hangat. Juga untuk setiap kesempatan dimana ia masih dapat berkomentar mana makanan yang enak, mempunyai kesempatan untuk berpakaian rapi, punya begitu banyak hal dimana orang-orang yang ada dihadapannya ini AMAT KEKURANGAN!

Sekarang saya pun mulai berpikir seperti itu juga. Sebenarnya, apakah hidup saya ini sedemikian buruknya? TIDAK, sebenarnya tidak buruk sama sekali! Nah, bagaimana dengan anda? Mungkin di waktu lain, saat anda mulai berpikir seperti saya, cobalah ingat kembali tentang seorang anak kecil yang HARUS KEHILANGAN sebelah tangannya hanya untuk mengemis dipinggir jalan. Saudara, banyak hal yang sudah kita alami dalam menjalani kehidupan kita selama ini, sudahkah kita BERSYUKUR? Apakah kita mengeluh saja dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita miliki?

Tukang Sayur dan Penjual Beras

Di depan rumah saya, sering lewat beberapa tukang sayur. Di antara mereka ada satu yang menarik perhatian. Bukan apa-apa, sebabnya adalah karena pakaiannya yang kumal, juga gerobak dorong yang berkesan seadanya. Keadaan demikian secara spontan menimbulkan keinginan saya untuk mempraktekkan “metta”. Maka dengan penuh semangat kesetiakawanan sosial, saya setiap kali selalu membeli dagangannya. Bahkan jika dia me-“mark-up” harga dagangannya, saya juga tidak peduli, kadang-kadang malah saya memberi lebih, dan tak mengharap kembalian. Demikian dermawannya saya, sehingga sering saya melihat tatapan mata si tukang sayur yang penuh kekaguman. Saya sendiri juga diam-diam senang, bangga, terharu dan mengagumi kedermawanan saya.

Alkisah, suatu hari ada seorang penjual beras yang datang. Dia menawarkan dengan harga yang menurut saya cukup murah, mengingat butiran berasnya yang besar, putih bersih seperti mutiara, berbau wangi pandan yang menimbulkan selera. Dia mengaku dari desa, dan berasnya tidak laku dijual di desa. Ditambah pula wajah lugu dan memelas si penjual beras, kontan pula tibul semangat “metta” di hati saya. Melihat antusiasme si penjual beras dalam menakar berasnya, memasukkannya ke karung dengan semangat pejuang ’45, kembali saya terharu atas kebaikhatian saya. Mempraktekkan “metta” memang menyenangkan, demikian pikir saya. Segera saja sekarung beras terisi penuh. Si penjual pergi dengan gembira setelah menerima uang, apa lagi saya juga mengulang kedermawanan saya, uang kembaliannya tidak saya minta.

Ketika seisi rumah sudah pulang, kami bersama-sama memasukkan isi karung ke tempat beras. Tapi apa yang terjadi? Bagian bawah karung bukanlah berisi beras, melainkan berisi gumpalan kertas koran. Total jendral, hanya setengah karung lebih yang terisi beras. Melihat ini, langsung timbul rasa malu dan naiklah amarah sampai ke ubun-ubun. Ditambah olokan yang mengusik keintelektualan saya, keluarlah sumpah serapah dari mulut ini. Sungguh mudahnya cinta kasih menjadi kebencian. Sungguh mudahnya mulut ini berkata-kata. Sungguh sulit berbicara dan berbuat benar.

Ketika perbuatan baik saya ditanggapi dengan tipuan, saya marah. Tapi apa bedanya si tukang sayur – yang sedikit sedikit demi sedikit berhasil mengeruk sejumlah uang dari kantung saya- dengan si penjual beras? Barangkali saja jumlah uang yang dikeruk si penjual beras justru lebih kecil dari si tukang sayur. Sebab utama karena saya merasa lebih cerdas dan lebih intelek dibanding si penjual beras. Saya merasa dikalahkan. Ternyata pengendalian diri saya hanya terbatas untuk situasi dan kondisi tertentu. Ternyata praktek “metta” saya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri.

Tapi tentu saja saya tidak begitu mudah menyerah. Otak intelektual saya langsung berkelebat secepat kilat. Akhirnya saya temukan jurus jitu, saya bukan membenci orangnya, melainkan perbuatannya. Mendapat jawaban ini, saya langsung menjadi senang. Ah, benar juga, jadi saya tidak sepenuhnya salah dalam membenci. Tapi benarkah demikian?

Rupanya seperti halnya gelombang suara dengan fase tertentu dapat menghilangkan suara lain yang fasenya berlawanan, ternyata kebencian tidaklah hilang, melainkan hanya tertekan oleh lawannya, cinta kasih. Ketika suara yang berlawanan fasenya, ketika cinta kasih menghilang, lawannya muncul kembali. Hanya jika seseorang dapat melepaskan diri dari kedua hal yang berlawanan, dari dualisme, barulah cinta kasih yang tanpa batas muncul.

“Seperti air yang menyejukkan bagi yang baik maupun buruk, dan melarutkan semua kotoran dan debu, demikian pula seharusnya kau mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap kawan dan lawan tanpa perbedaan. Dan setelah mencapai kesempurnaan dalam cinta kasih, kau akan mencapai pencerahan.’

(Jataka Nidanakatha 168,169)

Hidup Hari Ini

Ada dua hari dalam hidup ini yang sama sekali tak perlu kita khawatirkan. Yang pertama, hari kemarin. Kita tak bisa mengubah apapun yang telah terjadi. Kita tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan. Kita tak mungkin lagi menghapus kesalahan dan mengulangi kegembiraan yang kita rasakan kemarin. Marilah kita biarkan hari kemarin lewat, lepaskan saja.

Yang kedua, hari esok. Hingga mentari esok hari terbit, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Kita mungkin tak bisa lagi melakukan apa-apa esok hari. Kita mungkin tak bisa lagi sedih atau ceria di esok hari. Esok hari belum tiba, biarkan saja. Yang tersisa kini hanyalah hari ini. Pintu masa lalu telah tertutup, pintu masa depan pun belum tiba. Marilah kita pusatkan saja diri kita untuk hari ini. Kita dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini apabila kita mampu memaafkan hari kemarin dan apabila kita mampu melepaskan ketakutan akan esok hari.

Marilah kita hidup hari ini. Karena, masa lalu sudah lewat dan masa depan belum tiba. Hari ini adalah satu-satunya hari yang bisa kita manfaatkan untuk berbuat sesuatu yang akan menentukan hari esok. Marilah kita hidup hari ini sebaik mungkin untuk kita sendiri, sesama kita manusia, sesama makhluk hidup dan seluruh semesta alam, karena hari ini akan menjadi kemarin, dan hari ini akan menentukan esok.

Marilah kita perlakukan setiap orang dengan kebaikan, respek, empati dan ketulusan, meskipun mereka berlaku buruk pada kita. Kita menunjukkan penghargaan kita kepada orang lain bukanlah karena ‘siapa mereka’ melainkan karena ‘ siapakah kita’ sendiri/ karena kebaikan, respek, empati dan ketulusan adalah tanpa pamrih, tanpa ego.

Sumber Batin

Untuk mengetahui bagaimana orang bertingkah laku memerlukan intelegensi, tetapi untuk mengetahui diri sendiri memerlukan kebijaksanaan.
Untuk memanajemeni kehidupan oerang lain memerlukan kekuatan tetapi untuk memanajemeni kehidupan diri sendiri memerlukan kekuatan yang sebenarnya.
Jika saya puas denga apa yang saya miliki, saya dapat hidup sederhana dan menikmati baik kemakmuran maupun waktu senggang.
Jika tujuan saya jelas, saya dapat mencapainya tanpa susah-susah.
Jika saya dalam kedamaian atas diri sendiri, saya tidak akan menggunakan kekuatan hidup saya untuk terjun dalam konflik.
Jika saya telah belajar untuk ikhlas, saya tak perlu takut sekarat.
Mati tidaklah menakutkan, sebab saya sendiri tahu bagaimana untuk pergi, dan saya tahu sifat keabadian.

Dikutip dari kepemimpinan Tao – John Heidder

Suatu ketika, terdapat seorang pemuda ditepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air didepannya. Seluruh penjuru mata angin telah dilewatinya, namun tak ada satu pun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana. “Sedang apa kau disini anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “Apa yang kau risaukan?” Anak muda itu menoleh kesamping., “Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu di dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dipandangnya wajah lelah didepannya. Lalu ia mulai bicara, “Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.” Mereka berpandangan. “Ya .. tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu.” Sang kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang beterbangan di sana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah.” Tampak sang kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan di sisi kanan kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu. “Begitukan caramu mengejar kebahagiaan” Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli pada apa yang kau rusak?” Sang kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.” Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kallbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.

Penenun Tua

Konon terdapatlah seorang penenun tua yang bermukim di kawasan Tibet dengan beberapa anak laki-lakinya. Diwaktu mudanya, penenun ini siang malam bekerja pada alat tenunnya menghasilkan bahan-bahan baju, dengan tidak pernah merenungkan soal pri kebajikan dalam kehidupannya maupun lingkungan disekitarnya. Degan tekun penenun ini bekerja dan bekerja setiap hari sepanjang hidupnya sehingga ia berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang amat banyak dari jerih payahnya itu, kehidupannya sekarang menjadi makmur. Pada saatnya, seorang demi seorang anak-anaknya yang telah dewasa dinikahkannya dengan perempuan dari keluarga baik-baik. Keluarganya menjadi berkembang dan besar ketika cucu-cucu mulai lahir kedalam lingkungan tersebut.

Segala sesuatu memang tidak abadi. Pada suatu hari, istri penenun tua itupun meninggal, sehingga penenun tua itu terbengkalai, tidak ada yang merawat dan melayani kebutuhannya, sampaipun pada saat makannya.

Keadaan yang tidak menyenangkan ini diringankan oleh para menantu perempuannya yang secara bergiliran melayaninya. Sampailah pada suatu saat ketika ia menjadi seorang tua yang tidak berdaya lagi, tidak sanggup bekerja dan hanya menggantungkan diri kepada belas kasihan anak-anaknya. Para tetangga dan kaum keluarganya mengeluarkan kata ejekan yang mencemoohkan dengan kata-kata menghina: “Si orang tua kaya itu kini sudah tak dapat mempergunakan hartanya lagi.”.

Kian lama para menantunya tidak dapat mentolerir lagi keadaan si penenun yang kian lama kian lemah itu, setiap kali ia datang bergilir ke rumah mereka. Mereka berpendapat, bahwa keadaan mertuanya itu membuat rumah tangga mereka menjadi tidak hangat dan menodai nama baik mereka.
Setelah membuat suatu rapat keluarga, didapatlah suatu keputusan yang menyatakan bahwa penenun tua itu akan menempati sebuah gubuk yang terletak di halaman belakang rumah anak tertua dan dengan bergiliran mereka akan menyediakan makannya. Menurut faham mereka, ayahnya harus merasa puas dengan hadiah kediaman demikian dan mereka merasa bangga setelah mengambil keputusan itu. Dengan demikian, penenun tua itupun pindahlah ke tempat kediamannya itu.

Alkisah, tak lama setelah penggusuran itu terjadi, datanglah kerumah anak tertua tersebut seorang bhikkhu yang mendapat bingkisan istimewa serta diundang untuk bermalam disana. Dengan sopan santun, sang bhikkhu tersebut menolaknya dengan mengatakan bahwa menurut ikrarnya, ia tidak dibenarkan untuk bermalam di rumah seorang perumah tangga, dalam naungan atap yang sama. Namun beliau menyanggupi untuk tidur di dalam taman anak tertua itu.

Malam tiba, penenun tua itu melihat sinar lampu dalam taman anaknya, maka iapun keluarlah dari gubuknya dan menghampiri sinar itu. Didapatinya seorang bhikkhu yang hendak menginap itu, sehingga dengan sangat ramahnya, dipersilahkannya beliau untuk masuk kedalam gubuknya. Dalam percakapan berikutnya sang rahib itu bertanya kepada si penenun tua siapakah dia gerangan. Maka jawabnya:”O, Tuan yang mulia! Paman ini adalah orang tua dari pemilik rumah, dimana paman telah memeliharanya sejak kecil, membesarkannya serta mengawinkannya. Ketahuilah, paman adalah pemilik rumah ini dahulu, namun (si penenun bercakap dengan tersendat-sendat, menyayat hati) sebaliknya sekarang paman ini digusur kesini dan dicemooh oleh anak-menantuku karena paman sudah tidak kuat lagi bekerja dan keadaan ini sangat memalukan mereka. Dalam usia tuaku yang sangat menyedihkan ini paman telah disingkirkan dari khalayak ramai, paman dibiarkan merana dan kesepian”. Penenun tua itu menghentikan perkataannya karena air mata mulai mengalir turun membasahi wajahnya yang kusut. Sang bhikkhu mendengarkan penuturan itu dengan terpaku dan terharu, prihatin kepada keadaaan orang tua itu.

Dengan lembut beliau berkata: “Sudahlah, paman. Bila paman menangisi penderitaan sekecil ini, bagaimana paman akan sanggup mengatasi penderitaan yang akan datang pada tumimbal lahir berikutnya? Apa yang menimpa paman sekarang ternyata hanya menyangkut segi kebendaan, lahiriah, sedangkan paman masih harus menggali permata ratna manikam batiniah dari jasa-jasa paman yang seharusnya paman nikmati. Paman kini sedang mengalami penderitaan, kelak dalam tumimbal lahirpun akan menderita. Padahal paman menderita ini karena pengetrapan perbuatan-perbuatan yang salah semasa hidup sekarang, sedangkan paman masih menggugat ketidak adilan itu pada anak paman”.

Mendengar itu, penenun tua itu menjadi terkejut dan sadar, lalu berkata:”O, Tuan yang kami muliakan, kata-kata tuan itu sangat jitu, Memang, dimasa mudaku, disaat kami masih mempunyai kesempatan untuk melatih kemurnian akhlak batin kami itu, ternyata telah kusia-siakan. Dan setelah setua ini, paman masih berpamrih untuk mendapatkan kepuasan menikmati kebahagiaan masa tuaku. Apakah gunanya obat mujarab bagi orang tua seperti paman ini yang selekasnya akan menutup mata!” “Paman,” jawab rahib tersebut,.”Kami mengetahui obat mujarab bagi paman, dan kami sanggup memberikannya kepada paman”.
Mendengar itu, penenun tua itu serta merta memasang telinganya siap sedia mendegarkan wejangan berharga dari rahib itu. Inilah petunjuk rahib itu: “Paman harus segera melaksanakan perkembangan meditasi cermat dengan merenungkan terhadap ketiga mata pokok tentang ketidak kekalan dari semua makhluk yang berpancaindera tentang keseimbangan.(lebih lanjut disinggung soal Sutra Prajna Paramita Hidarya). Segala sesuatu itu penuh dengan penderitaan.”
Si penenun tua itu mendengarkan dengan seksama dan ia telah dapat mencerab serta faham dan yakin akan makna artinya, dalam sekejab saja ia telah hafal akan petunjuk meditasi itu,walaupun keesokan harinya tamunya pergi meninggalkannya, penenun tua itu telah sanggup mengetrapkan ajarannya ke dalam hidupnya.

Mulai hari itu. Penenun tua itu melatih meditasi atas dasar mata pokok menurut petunjuk rahib itu. Bila dahulu waktunya yang terluang dipakai untuk menangis, meratapi penderitaannya itu kini telah dirubahnya untuk melaksanakan meditasi dengan tekun dan patuh atas petunjuk-petunjuk itu.

Lambat laun keadaannya berubah dengan sangat kentara, ia tidak lagi bersedih hati tetapi kelihatan gembira serta rajin merawat dirinya. Perubahan besar ini disaksikan oleh anak mantunya disaat giliran menjenguk mereka kesana.

Bahkan tatkala penenun tua itu diomeli: “Tua bangka, tak berguna, hanya menjadi beban perawatan dan memberi makan saja …”, diterimanya saja tanpa mengadakan perlawanan dan dengan diam ia mengampuni perbuatan tercela itu.

Tahun demi tahun berlalu, sehingga telah genaplah 12 tahun telah dijalani. Selama itu penenun tua itu tetap tekun melaksanakan meditasi dengan tenang dan sehat dikediamannya yang kecil.dalam taman yang sama. Ia telah menimbun segudang penuh kebajikan, besarnya melebihi tumpukan harta kekayaan yang pernah dikumpulkannya dulu. Wajahnya berubah agung, namun hal ini tidak diperhatikan anak mantunya.

Pada suatu hari, keluarga besar itu merayakan suatu pesta besar sampai jauh malam. Seorang menantu penenun tua itu tiba-tiba teringat belum memberi makanan kepada penenun tua itu. Dengan perasaan menyesal, dibawanya sedikit makanan ke gubuk kecil ditaman, namun ia tertegun melihat suatu sinar terang yang mengejutkan daripadanya. Karena ingin tahu, iapun mengintip ke dalam gubuk itu, dimana ia melihat beberapa dewa dewi sebanyak 15 orang dengan wajah bersinar sedang melayani penenun tua itu dengan penuh rasa hormat.

Menyaksikan pemandangan yang sangat luar biasa itu, sang menantu itu serta merta berlari masuk ke dalam rumah besar untuk memberi tahu kepada kaum keluarganya. Merekapun menyaksikan pemandangan aneh tersebut dan sambil kembali ke rumah mereka, mereka menyatakan bahwa mereka telah melihat penghuni halus. Pada keesokan harinya, mereka kembali meninjau penenun tua itu, yang tampak berseri-seri dan gembira serta sehat. Wajahnya bersinar agung dan terang. Penenun tua itu berdiam diri terhadap kejadian pada malam itu, karena ia merasa kurang sanggup menjelaskannya. Namun peristiwa itu telah tersiar dengan luas, sehingga mendatangkan para penduduk yang merasa ingin tahu, mereka menjenguk ketempat kediaman si penenun tua yang menjadi suci itu. Mereka memberikan tanggapan yang sama bahwa melihat wajah penenun tua itu saja sudah memberikan kebahagiaan pada mereka. Seluruh negara Tibet akhirnya mengenal beliau yang terkenal dengan sebutan: Sang Tantri. Beliau akhitnya mangkat dan tumimbal lahir lagi kedalam alam dewa.

Diangkat dari tulisan: Dr.H. Heckar: Wissen Und Wandel – Sati Patthana & Its Application To Modern Life, Asuhan M.U. Pannasiri.

Kehangatan Sebuah Tangan

Suatu hari saya menelusuri jalan di London, lalu saya melihat seorang lelaki tinggi dan kurus di sudut jalan, meringkuk dan kelihatan sangat malang. Saya menghampirinya, menjabat tangannya dan bertanya bagaimana keadaannya. Dia menatap saya dan berkata “Oh! Setelah sekian lama, sangat lama saya bisa merasakan lagi kehangatan tangan manusia!” dan dia berdiri. Ada senyum sangat indah diwajahnya karena seseorang bersikap baik kepadanya. Hanya menjabat tangannya telah membuatnya merasa “diperlakukan sebagai manusia.” Saya telah memberinya perasaan dicintai oleh seseorang, kegembiraan karena dicintai. Marilah kita semua saling mengasihi dan menyayangi sesama manusia.

Sumber: Ibu Teresa, In The Heart of the World.
Padhana Sutta
Perjuangan Sang Buddha melawan godaan


1. Aku sedang berdiam di tepi sungai Nerañjara, sibuk dengan pergulatan yang dalam, mempraktekkan meditasi dengan segenap kekuatanku dalam usaha mencari kebebasan dari belenggu keterikatan.

2. Mara datang kepadaku dan mulai berbicara dengan kata-kata yang tampaknya penuh simpati: ‘Engkau amat kurus dan pucat’, katanya, ‘Aduh, engkau hampir hampir mati!

3. Saya berani bertaruh seribu berbanding satu bahwa engkau akan mati. Kecil sekali kemungkinan engkau dapat bertahan hidup! Yang Mulia, bertahanlah hidup! Jauh lebih baik engkau terus hidup-- engkau dapat mengumpulkan jasa kebajikan jika tetap hidup.

4. Engkau dapat menjalani kehidupan religius, memberikan persembahan-persembahan kepada dewa api. Itulah jalan pasti untuk mendapatkan banyak jasa kebajikan. Untuk apa engkau melakukan semua perjuangan ini?

5. Jalan usaha dan pergulatan ini sulit, keras, dan melelahkan, serta penuh kesulitan.’ Ketika mengatakan kata-kata ini, Mara berdiri persis di sisi Sang Buddha.

6. Kemudian Sang Buddha menyapa Mara dengan berkata: ‘Mengapa datang kemari, hai engkau yang jahat, yang merupakan teman bagi kelengahan?

7. Tidak kubutuhkan sedikit pun jasa kebajikan seperti yang kau katakan. O Mara, engkau harus mengkhotbahkan jasa kebajikan kepada mereka yang membutuhkannya.

8. Aku memiliki keyakinan dan semangat serta juga pengetahuan. Jadi aku sibuk berusaha. Mengapa engkau menanyakan kehidupanku?

9. Ketika angin bertiup, bahkan sungai dan aliran air pun akan kering. Jadi mengapa angin tidak mengeringkan darahku sementara aku berada dalam pergulatan yang dalam?

10. Ketika darah mengering, begitu juga empedu dan lendir. Tubuh memang akan melapuk, tetapi pikiran menjadi makin mantap. Demikian juga kewaspadaan, kebijaksanaan, dan konsentrasi makin mantap terpateri di dalam diriku.

11. Dengan hidup seperti ini, mengalami ekstrimnya sensasi, pikiranku tidak lagi bercita-cita mendapatkan kesenangan-kesenangan indera.

12. Kekuatan utama bala tentaramu adalah Nafsu, yang kedua adalah Rasa Tidak-suka. Yang ketiga adalah Rasa Lapar-Haus. Dan yang keempat adalah Ketagihan.

13. Yang kelima adalah bala tentara Kelesuan-Kemalasan, dan yang keenam adalah Rasa Takut. Yang Ketujuh adalah Keraguan, sedangkan yang kedelapan adalah Kekeraskepalaan dan Keresahan.

14. Kemudian ada juga keuntungan materi, pujian, kehormatan dan kemasyhuran yang diperoleh dengan cara-cara yang salah. Bisa juga orang memandang tinggi dirinya sendiri dan merendahkan yang lain.

15. Ini semua, o, Mara, merupakan kekuatanmu, para penyerang dari kelompok yang jahat. Orang yang bukan pahlawan tidak akan menang terhadap mereka dan tidak akan mencapai kebahagiaan.

16. Lihatlah: Tampakkah olehmu helai rumput muñja yang kukenakan? Aku tidak mempedulikan kehidupan. Aku lebih senang mati dalam perjuangan ini dari pada hidup tetapi terkalahkan.

17. Ada bhikkhu dan pertapa yang telah tenggelam [di dalam kekotoran batin] dan tidak pernah melihat jalan yang dilalui oleh mereka yang berperilaku baik.

18. Dapat kulihat seluruh bala tentara yang mengelilingiku, dengan Mara yang duduk di atas gajahnya, dan aku maju menghadapi pertempuran itu.

19. Bahkan seandainya seluruh dunia, termasuk para dewanya, tidak dapat mengalahkan bala tentaramu, aku akan menghancurkannya dengan kekuatan kebijaksanaan, bagaikan pot tembikar yang tidak dibakar dihancurkan oleh sebuah batu.

20. Dengan pikiran yang berdisiplin dan kewaspadaan yang tertancap kokoh aku akan berkelana dari negeri ke negeri untuk melatih banyak siswa.

21. Berlawanan dengan keinginanmu, orang-orang itu akan mempraktekkan ajaranku dengan kewaspadaan dan penuh semangat, sehingga mereka mencapai tahap di mana mereka tidak akan jatuh ke dalam kesedihan lagi.’

22. ‘Telah tujuh tahun aku mengikuti Sang Buddha’, kata Mara, ‘dan aku telah mengamati setiap langkah yang dibuatnya. Tidak satu kali pun aku bisa mengalahkanNya, yang sepenuhnya telah tercerahkan dan waspada.

23. Masih jelas dalam ingatanku seekor burung gagak yang terbang di atas segumpal lemak di tanah. ‘Ah, makanan!’ pikirnya. Tetapi gumpalan itu ternyata batu, yang keras dan tidak dapat dimakan. Maka gagak itu terbang dengan perasaan muak.

24. Kami sudah jera. Kami bagaikan gagak yang makan batu karang itu. Kami akan pergi, kami tak mau lagi berurusan dengan Gotama!’

25. Mara amat kecewa dengan kegagalannya sehingga dia menjatuhkan kecapi yang dibawanya. Dan pada saat alat musik itu jatuh ke tanah, yakkha yang berpikiran jahat itu pun lenyap.

Sumber: Sutta-Nipata

Bahkan Seorang Anak Berusia 7 Tahun Melakukan yang Terbaik Untuk...

Di sebuah kota di California, tinggal seorang anak laki2 berusia tujuh tahun yang bernama Luke. Luke gemar bermain bisbol. Ia bermain pada sebuah tim bisbol di kotanya yang bernama Little League. Luke bukanlah seorang pemain yang hebat. Pada setiap pertandingan, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kursi pemain cadangan. Akan tetapi, ibunya selalu hadir di setiap pertandingan untuk bersorak dan memberikan semangat saat Luke dapat memukul bola maupun tidak.

Kehidupan Sherri Collins, ibu Luke, sangat tidak mudah. Ia menikah dengan kekasih hatinya saat masih kuliah. Kehidupan mereka berdua setelah pernikahan berjalan seperti cerita dalam buku-buku roman. Namun, keadaan itu hanya berlangsung sampai pada musim dingin saat Luke berusia tiga tahun. Pada musim dingin, di jalan yang berlapis es, suami Sherri meninggal karena mobil yang ditumpanginya bertabrakan dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Saat itu, ia dalam perjalanan pulang dari pekerjaan paruh waktu yang biasa dilakukannya pada malam hari. "Aku tidak akan menikah lagi," kata Sherri kepada ibunya. "Tidak ada yang dapat mencintaiku seperti dia". "Kau tidak perlu menyakinkanku," sahut ibunya sambil tersenyum. Ia adalah seorang janda dan selalu memberikan nasihat yang dapat membuat Sherri merasa nyaman. "Dalam hidup ini, ada seseorang yang hanya memiliki satu orang saja yang sangat istimewa bagi dirinya dan tidak ingin terpisahkan untuk selama-lamanya. Namun jika salah satu dari mereka pergi, akan lebih baik bagi yang ditinggalkan untuk tetap sendiri daripada ia memaksakan mencari penggantinya."

Sherri sangat bersyukur bahwa ia tidak sendirian. Ibunya pindah untuk tinggal bersamanya. Bersama-sama, mereka berdua merawat Luke. Apapun masalah yg dihadapi anaknya, Sherri selalu memberikan dukungan sehingga Luke akan selalu bersikap optimis. Setelah Luke kehilangan seorang ayah, ibunya juga selalu berusaha menjadi seorang ayah bagi Luke.

Pertandingan demi pertandingan, minggu demi minggu, Sherri selalu datang dan bersorak-sorai untuk memberikan dukungan kepada Luke, meskipun ia hanya bermain beberapa menit saja. Suatu hari, Luke datang ke pertandingan seorang diri. "Pelatih", panggilnya. "Bisakah aku bermain dalam pertandingan ini sekarang? Ini sangat penting bagiku. Aku mohon ?" Pelatih mempertimbangkan keinginan Luke. Luke masih kurang dapat bekerja sama antar pemain. Namun dalam pertandingan sebelumnya, Luke berhasil memukul bola dan mengayunkan tongkatnya searah dengan arah datangnya bola. Pelatih kagum tentang kesabaran dan sportivitas Luke, dan Luke tampak berlatih extra keras dalam beberapa hari ini. "Tentu," jawabnya sambil mengangkat bahu, kemudian ditariknya topi merah Luke. Kamu dapat bermain hari ini. Sekarang, lakukan pemanasan dahulu."

Hati Luke bergetar saat ia diperbolehkan untuk bermain. Sore itu, ia bermain dengan sepenuh hatinya. Ia berhasil melakukan home run dan mencetak dua single. Ia pun berhasil menangkap bola yang sedang melayang sehingga membuat timnya berhasil memenangkan pertandingan. Tentu saja pelatih sangat kagum melihatnya. Ia belum pernah melihat Luke bermain sebaik itu. Setelah pertandingan, pelatih menarik Luke ke pinggir lapangan. "Pertandingan yang sangat mengagumkan," katanya kepada Luke. "Aku tidak pernah melihatmu bermain sebaik sekarang ini sebelumnya. Apa yang membuatmu jadi begini?" Luke tersenyum dan pelatih melihat kedua mata anak itu mulai penuh oleh air mata kebahagiaan. Luke menangis tersedu-sedu. Sambil sesunggukan, ia berkata "Pelatih, ayahku sudah lama sekali meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Ibuku sangat sedih. Ia buta dan tidak dapat berjalan dengan baik, akibat kecelakaan itu. Minggu lalu, Ibuku meninggal." Luke kembali menangis. Kemudian Luke menghapus air matanya, dan melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata "Hari ini,..hari ini adalah pertama kalinya kedua orangtuaku dari surga datang pada pertandingan ini untuk bersama-sama melihatku bermain. Dan aku tentu saja tidak akan mengecewakan mereka.". Luke kembali menangis terisak-isak. Sang pelatih sadar bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat, dengan mengizinkan Luke bermain sebagai pemain utama hari ini.

Sang pelatih yang berkepribadian sekuat baja, tertegun beberapa saat. Ia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun untuk menenangkan Luke yang masih menangis. Tiba-tiba, baja itu meleleh. Sang pelatih tidak mampu menahan perasaannya sendiri, air mata mengalir dari kedua matanya, bukan sebagai seorang pelatih, tetapi sebagai seorang anak. Sang pelatih sangat tergugah dengan cerita Luke, ia sadar bahwa dalam hal ini, ia belajar banyak dari Luke. Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan orang tuanya, walaupun ayah dan ibunya sudah pergi selamanya. Luke baru saja kehilangan seorang Ibu yang begitu mencintainya. Sang pelatih sadar, bahwa ia beruntung ayah dan ibunya masih ada. Mulai saat itu, ia berusaha melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, membahagiakan mereka, membagikan lebih banyak cinta dan kasih untuk mereka. Dia menyadari bahwa waktu sangat berharga, atau ia akan menyesal seumur hidupnya.

Hikmah yang dapat kita renungkan dari kisah Luke yang HANYA berusia 7 TAHUN :
Mulai detik ini, lakukanlah yang terbaik utk membahagiakan ayah & ibu kita. Banyak cara yg bisa kita lakukan utk ayah & ibu, dgn mengisi hari-hari mereka dgn kebahagiaan. Sisihkan lebih banyak waktu untuk mereka. Raihlah prestasi & hadapi tantangan seberat apapun, melalui cara-cara yang jujur utk membuat mereka bangga dgn kita. Bukannya melakukan perbuatan2 tak terpuji, yang membuat mereka malu. Kepedulian kita pada mereka adalah salah satu kebahagiaan mereka yang terbesar.

Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk membahagiakan ayah dan ibunya. Bagaimana dengan Anda ? Berapakah usia Anda saat ini ? Apakah Anda masih memiliki kesempatan tersebut ? Atau kesempatan itu sudah hilang untuk selamanya?

Sumber: Karen Kingsbury, Gifts From The Heart for Women

Yu Yuan

Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kata terakhir yang ia tinggalkan adalah saya pernah datang dan saya sangat penurut.Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.

Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah.Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, "saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan". Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.

Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.

Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.

Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa.Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas.Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang.Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit.Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.

Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa saya ingin mati". Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, "Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati". "Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini."

Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: "Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah foto ini". Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudian memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.
Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini". Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang. Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.

Ada seorang teman di-email bahkan menulis: "Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta."
Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, "Anak yang baik". Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: "Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut.Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati". Yu Yuan kemudia berkata : "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati". Wartawan itupun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik". Yu Yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya.Fu Yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.
Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,....... Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang-orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh".

Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya. Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis.Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.

Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan "Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah..............." demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Didepan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. "Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata "Aku pernah datang dan aku sangat patuh".

Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia.Walaupun hidup serba kekuarangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

Kotak Harpa

Alkisah pada zaman dahulu kala, ada dua orang tunanetra, tua dan muda yang saling bergantung hidup. Setiap hari mereka mencari nafkah dengan bermain harpa. Suatu hari, tunanetra tua yang menjadi guru tunanetra muda itu jatuh sakit, ia tahu dirinya tidak lama lagi akan meninggal. Maka ia memanggil tunanetra yang muda ke sisi tempat tidur menggenggam erat tangannya dan dengan berat berkata.

“Nak, saya ada satu rahasia di sini, bisa membuatmu melihat kembali, sudah saya simpan di dalam kotak harpa. Tetapi harus kamu ingat. Harus menunggu sampai putus dawai yang keseribu baru boleh dikeluarkan, jika tidak, maka kamu tidak akan dapat melihat cahaya terang.”

Dengan berlinang air mata tuna netramuda itu berjanji pada gurunya , yang akhirnya dengan tersenyum pergi selama-lamanya. Dari hari ke hari, tahun demi tahun, tunanetra muda hanya mengingat pesan gurunya, setiap hari terus bermain harpa. Setiap putus satu dawai ia menyimpannya selalu mengingat dalam hati. Setelah dengan susah payah dia menanti sampai dawai yang keseribu itu putus, tunanetra muda sudah memasuki usia senja, menjadi orang tua yang banyak mengalami kegetiran hidup. Dengan kegembiraan hati menggebu-gebu, serta dengan tangan gemetar membuka kotak harpa dan membuka rahasia itu.

Namun, orang lain memberi tahu padanya bahwa itu adalah secarik kertas putih. Tidak ada apapun di kertas itu, air matanya berlinang jatuh di atas kertas. Tetapi ia tersenyum. Apakah si gurunya itu telah membohonginya? Mengapa malah tersenyum memegangi kertas putih yang tidak ada isinya itu, sebab sesaat ia mengeluarkan rahasia itu ia sudah mengerti akan maksudnya.

Rahasia yang diberi gurunya itu adalah rahasia yang tidak dibubuhi tulisan, merupakan rahasia yang tidak bisa dicuri orang. Hanya dia sejak muda memetik hingga putus dawai yang keseribu kemudian baru bisa memahami makna rahasia itu yang sesungguhnya rahasia itu adalah cahaya harapan, yaitu cahaya dalam kegelapan yang tak bertepi dalam penderitaan yang tak berujung itu.

Gurunya membantu menyalakan pelita harapan untuknya, seandainya tidak ada pelita ini mungkin sejak dulu ia sudah ditelan dalam kegelapan dan jatuh dalam penderitaan. Justru karena dukungan pelita inilah ia baru bisa bertahan terus memetik harga putus dawai yang keseribu.

Ia sangat berharap dapat melihat terang dan dalam hatinya selalu mempunyai keyakinan yang teguh, ia menganggap kegelapan itu tidak selamanya asalkan ia terus berusaha. Sesungguhnya, hatinya sudah benar-benar terang, terakhir apakah bisa melihat cahaya dunia kembali? Baginya sudah tidak penting lagi, banyak sekali orang yang memiliki sepasang mata terang, tetapi dalam benaknya malah sebuah hati yang gelap.

Anak Kerang

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam." "Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi! tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara ; air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transdensial untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa". Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat m! engubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".

Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transdensial tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki : menjadi ´kerang biasa´ yang disantap orang, atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara´. Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja´.

So..sahabat mungkin saat ini kamu sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka krn orang2 disekitar kamu..cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan didalam hatimu.. "Airmataku diperhitungkan Tuhan..dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara2..."

Tiga Pertanyaan

Leo Tolstoy menceritakan sebuah kisah indah tentang seorang raja yang ingin mengetahui jawaban atas tiga pertanyaan : Kapan waktu yang tepat untuk melakukan segala hal? Siapa yang terpenting? Dan apa hal terpenting yang harus dilakukan? Raja menjanjikan hadiah besar bagi mereka yang berhasil menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan tepat.

Untuk pertanyaan pertama, ada yang menasehatkan raja untuk membuat jadwal kerja dan berkonsentrasi. Yang lain menganjurkan supaya raja tidak membuang-buang waktu ada yang menganjurkan raja untuk mengangkat penasihat-penasihat yang bijak. Yang berikutnya menganjurkan supaya raja memakai juru ramal saja karena lebih cepat daripada mencari dan merekrut orang bijaksana.

Pertanyaan kedua, seseorang berkata bahwa raja perlu mempercayai pegawai-pegawainya, pendeta dan ahli-ahli perang.
Pertanyaan ketiga, ada yang mengatakan ilmu pengetahuan, ada yang mengatakan agama atau ilmu kemiliteran.

Raja tidak puas dengan semua jawaban yang ada. Akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi seorang pertapa bijaksana yang hidup di puncak gunung. Raja kemudian menyamar menjadi seorang rakyat jelata dan pergi mengunjungi orang tersebut. Sampai di puncak gunung, ia mendapati Sang Pertapa sedang menggali beberapa lubang di kebunnya. Ketika raja menanyakan ketiga pertanyaannya,, si Pertapa hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak sang raja dan meneruskan pekerjaannya. Raja berkata, “Anda kelihatannya lelah mari saya bantu menggali.” Pertapa itu mengucapkan terima kasih, dan memberikan sekopnya kepada raja. Ia duduk di bawah pohon untuk beristirahat.

Ketika raja telah menyelesaikan dua lubang, kembali ia menanyakan tiga pertanyaannya kepada si Pertapa. Pertapa itu tidak menjawabnya, malahan ia mengatakan hal lainnya, “Kenapa Anda tidak beristirahat dulu? Biarkan saya meneruskan pekerjaan itu lagi.” Tetapi raja meneruskan pekerjaannya. Satu, dua jam pun berlalu. Akhirnya matahari terbenam. Raja meletakkan sekop dan duduk di samping si Pertapa. Raja menanyakan kembali pertanyaannya.

Tiba-tiba seorang laki-laki lari mendekati mereka dari dalam hutan. Ia meletakkan tangannya diperutnya yang terluka. Laki-laki itu pingsan di tanah. Seluruh tubuhnya berlumuran darah. Tak tahan melihatnya, raja membuka pakaian laki-laki itu dan membersihkan lukanya. Saat siuman, raja memberi ia minum. Berdua bersama si Pertapa, ia menggendong laki-laki itu ke pondok karena hari mulai gelap. Raja merasa kelelahan, dan jatuh tertidur. Keesokan paginya, ketika raja membuka mata, laki-laki itu telah siuman. Ketika melihat raja, laki-laki itu berbisik, “Maafkan saya.” “Mengapa saya harus memaafkanmu?” tanya raja. “Saya adalah musuh Anda, saya datang untuk membunuh Anda. Tetapi saya bertemu pengawal-pengawal istana, mereka melukai saya. Untung saya bisa melarikan diri. Kalau saja Anda tidak menolong saya, pasti saat ini saya sudah mati. Anda telah menyelamatkan saya. Saya merasa malu dan saya ingin berterima kasih atas kebaikan Anda. Saya bersumpah, saya, anak dan cucu saya akan mengabdi kepada Anda. Maafkan saya.”

Raja merasa sangat bersuka cita karena begitu mudah ia didamaikan dengan musuhnya. Sebelum pulang, raja menemui Pertapa untuk berpamitan. Pertapa itu berkata, “Pertanyaan-pertanyaan Anda telah terjawab.” Ketika Pertapa melihat raja kebingungan, ia segera melanjutkan pernyataannya. “Kemarin seandainya Anda tidak merasa kasihan kepada saya dan menolong saya di kebun, maka Anda sudah terbunuh di hutan. Maka Anda pasti akan menyesal mengapa tidak tinggal saja di sini. Jadi waktu yang tepat adalah saat Anda menggali lubang, orang yang terpenting adalah saya, dan pekerjaan yang terpenting adalah menolong saya.
Kemudian saat laki-laki itu datang, waktu yang terpenting adalah saat Anda mengobati lukanya, karena bila tidak Anda lakukan ia akan mati dan Anda akan kehilangan kesempatan berdamai dengannya. Demikian juga, ia adalah orang yang terpenting. Sedangkan hal yang terpenting adalah mengobati lukanya.”

Ingatlah bahwa waktu yang terpenting itu cuma satu dan waktu itu adalah “Sekarang”. “Sekarang” adalah satu-satunya waktu yang ada di tangan kita. Orang yang terpenting selalu adalah orang yang ada di sisi kita, di depan kita karena siapa yang tahu hubungan apa yang akan kita miliki dengannya di masa yang akan datang. Pekerjaan yang terpenting adalah membuat orang itu bahagia.

Sumber: Era Baru Edisi 13 / Tahun ke-4.

Nevari Jataka

Jauh di masa lalu hidup seorang raja yang saleh dan berkuasa bernama Maharattha. Ia mempunyai tiga orang anak yang bernama Maha Prashada, Maha Deva dan Mahasattva, semuanya baik dan taat.

Pada suatu hari yang cerah raja ditemani oleh para pangeran dan pembantu pergi bertamasya ke taman lindung. Para pangeran muda, mengagumi dan menikmati keindahan bunga-bunga dan pepohonan, makin lama makin jauh masuk de dalam hutan yang lebat. Para pembantu menyadari ketidak-beradaan mereka, melaporkan persoalan itu kepada raja. Ia memerintahkan para mentri untuk mencari mereka lalu kembali ke istana.

Tiga pangeran itu, mengembara di hutan, tiba di puncak gunung. Dari sana yang tertua melihat harimau betina dan lima ekor anaknya yang hampir mati kelaparan. Selama tujuh hari sejak ia melahirkan ia tidak makan. Anak-anaknya mendekati si induk untuk menyusu, tetapi ia tidak memiliki apapun untuk memuaskan rasa lapar mereka, dan si harimau betina, terdorong oleh rasa lapar, sudah hampir memangsa anak-anaknya sendiri.

Saudara tertua adalah yang pertama melihat pemandangan menyedihkan ini. Ia menunjuk harimau betina itu kepada saudaranya dan berkata, “Lihatlah pemandangan yang menyedihkan itu, saudaraku! Harimau betina yang lapar itu hampir memangsa anak-anaknya. Betapa kejam keadaan ini!”

“Apakah makanan pokok mereka, saudara?” tanya Mahasattva. “Daging dan darah adalah makanan pokok harimau dan singa, “jawab Maha Prashada. “Harimau betina itu sangat lemah. Pasti ia tidak makan selama beberapa hari. Betapa mulianya seandainya orang dapat mengorbankan tubuhnya demi mereka!” “Tetapi siapakah yang bersedia membuat pengrbanan yang begitu besar!” seru Maha Deva. “Pasti, tidak ada seorangpun yang mau berbuat begitu,” ujar Maha Prashada. “Aku kurang cerdas. Orang yang tidak tahu seperti kita tidak dapat mengorbankan tubuh mereka demi pihak lain. Tetapi mungkin ada orang yang tidak mementingkan diri sendiri yang memiliki kasih sayang tanpa batas yang bersedia melakukan hal itu, “kata Masattva dengan penuh iba.

Dengan membayangkan itu, ia meminta saudaranya untuk melanjutkan perjalanan sebab ia akan masuk kedalam hutan karena alasan tertentu. Ia membawa dirinya ke tempat dimana harimau betina sedang beristirahat. Menggantungkan pakaian dan perhiasannya di pohon, sekali lagi ia berpikir: “Aku harus bekerja demi kesejahteraan pihak lain. Kita harus berkasih sayang terhadap semua mahluk. Melayani mereka yang memerlukan bantuan kita merupakan kewajiban utama kita. Tubuhku yang kotor ini akan kukorbankan untuk menyelamatkan si harimau betina dan lima ekor anaknya. Semoga dengan perbuatan berjasa ini aku mencapai tingkat Samma Sambuddha dan menyelamatkan semua makhluk dari samudra Samsara! Semoga semua makhluk sejahtera dan bahagia!”

Tergerak oleh kasih sayang dan diilhami oleh semangat pengabdian yang tidak mementingkan diri sendiri, dengan gagah berani ia melompat ke tebing di dekat harimau betina. Akibat jatuh itu tidak menyebabkan kematian seketika. Si Harimau betina, walaupun kejam secara alami, berbelas kasihan terhadap Bodhisattva dan sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Sang Bodhisattva berpikir sebaliknya, “Pasti hewan yang malang ini terlalu lemah untuk memangsaku!” Jadi ia mencari senjata. Ia menemukan sebilah bambu, serta mendekati harimau betina, ia memenggal lehernya dan mati berlumuran darah. Harimau betina dengan rakus meminum darah dan memangsa daging dengan hanya meninggalkan tulang belulangnya saja.
Dalam cerita ditambahkan, bahwa pada saat Sang Bodhisattva mengorbankan tubuhnya, bumi bergetar, air samudra bergelombang, sinar matahari meredup, pandangan mata sejenak mengabur, para Deva menyerukan kata sadhu, dan bunga Parijata bertaburan bagaikan hujan dari surga.

Terpengaruh oleh gempa bumi, dua orang saudara tua itu dengan pasti menduga bahwa adik mereka telah menjadi mangsa si harimau betina. “Pasti, Mahasattva telah mengorbankan kehidupannya, karena ia telah berbicara dengan nada yang penuh kasih,” kata Maha Deva. Mereka berdua kembali dan menuju tempat kejadian. Mereka terkejut dan kagum melihat pemandangan yang tidak diharapkan itu. Apa yang mereka lihat bukanlah adik mereka yang tercinta tetapi setumpuk tulang yang di lumuri darah. Pada pohon didekatnya mereka melihat pakaian yang tergantung. Mereka menangis dan pingsan. Ketika siuman, mereka pulang ke rumah dengan berat hati.

Pada hari sang Bodhisattva mengorbankan kehidupannya, ibu ratu bermimpi bahwa ia meninggal, bahwa giginya tanggal, serta bahwa ia mengalami sakit bagaikan tubuhnya dicincang dengan senjata tajam. Lebih lanjut ia bermimpi bahwa seekor burung elang menukik dan menyambar salah satu dari merpati cantik yang bertengger di atap. Ratu merasa takut, dan ketika bangun ia teringat bahwa para pangeran telah pergi bertamasya di hutan. Ia bergegas menghadap raja dan menceritakan mimpi yang tidak menyenangkan itu.
Ketika diberi tahu bahwa para pangeran tersesat, ia mendorong raja untuk mengirim utusan guna mencari mereka. Beberapa menteri yang telah pergi lebih awal untuk mencari mereka, kembali ke istana dengan kabar duka tentang kematian pangeran termuda yang sangat disesalkan. Mendengar itu, tak seoarangpun dapat menahan diri untuk tidak menangis. Walaupun demikian, raja menghibur ratu serta menyiapkan seekor gajah, bergegas menuju ke hutan dengan para pembantunya serta membawa pulang dua orang anak yang sedang berduka.
Demikian dalam kesedihan mereka sehingga pada awalnya mereka tidak dapat berbicara. Selanjutnya dengan menghimpun semangat, mereka menerangkan kepada ibu mereka yang berduka tentang pengorbanan mulia adik mereka. Segera perintah diberikan oleh raja untuk membuat persiapan mereka semua untuk mengunjungi tempat kejadian yang tak terlupakan.
Semua tiba di tempat pada waktunya. Hanya dengan pemandangan tulang berlumuran darah yang tercecer di sana sini dari anak yang tercinta, baik raja maupun ratu jatuh pingsan. Brahmana Purohita segera menuangkan air cendana pada mereka dan mereka siuman kembali.
Setelah itu raja memerintahkan para menteri untuk mengumpulkan semua rambut, tulang serta pakaian, dan menimbunnya jadi satu, serta memberi penghormatan pada mereka. Setelah menasihati mereka untuk membangun Cetiya emas untuk menyucikan jasadnya, dengan hati sedih ia kembali ke istana. Cetiya tersebut kemudian diberi nama “Om Namo Buddha”. Pada akhir Jataka disebutkan bahwa Cetiya itu saat ini disebut “Namura”.

Sumber: Sang Buddha dan AjaranNya Jilid 2.