Saturday, February 28, 2009

Nevari Jataka

Jauh di masa lalu hidup seorang raja yang saleh dan berkuasa bernama Maharattha. Ia mempunyai tiga orang anak yang bernama Maha Prashada, Maha Deva dan Mahasattva, semuanya baik dan taat.

Pada suatu hari yang cerah raja ditemani oleh para pangeran dan pembantu pergi bertamasya ke taman lindung. Para pangeran muda, mengagumi dan menikmati keindahan bunga-bunga dan pepohonan, makin lama makin jauh masuk de dalam hutan yang lebat. Para pembantu menyadari ketidak-beradaan mereka, melaporkan persoalan itu kepada raja. Ia memerintahkan para mentri untuk mencari mereka lalu kembali ke istana.

Tiga pangeran itu, mengembara di hutan, tiba di puncak gunung. Dari sana yang tertua melihat harimau betina dan lima ekor anaknya yang hampir mati kelaparan. Selama tujuh hari sejak ia melahirkan ia tidak makan. Anak-anaknya mendekati si induk untuk menyusu, tetapi ia tidak memiliki apapun untuk memuaskan rasa lapar mereka, dan si harimau betina, terdorong oleh rasa lapar, sudah hampir memangsa anak-anaknya sendiri.

Saudara tertua adalah yang pertama melihat pemandangan menyedihkan ini. Ia menunjuk harimau betina itu kepada saudaranya dan berkata, “Lihatlah pemandangan yang menyedihkan itu, saudaraku! Harimau betina yang lapar itu hampir memangsa anak-anaknya. Betapa kejam keadaan ini!”

“Apakah makanan pokok mereka, saudara?” tanya Mahasattva. “Daging dan darah adalah makanan pokok harimau dan singa, “jawab Maha Prashada. “Harimau betina itu sangat lemah. Pasti ia tidak makan selama beberapa hari. Betapa mulianya seandainya orang dapat mengorbankan tubuhnya demi mereka!” “Tetapi siapakah yang bersedia membuat pengrbanan yang begitu besar!” seru Maha Deva. “Pasti, tidak ada seorangpun yang mau berbuat begitu,” ujar Maha Prashada. “Aku kurang cerdas. Orang yang tidak tahu seperti kita tidak dapat mengorbankan tubuh mereka demi pihak lain. Tetapi mungkin ada orang yang tidak mementingkan diri sendiri yang memiliki kasih sayang tanpa batas yang bersedia melakukan hal itu, “kata Masattva dengan penuh iba.

Dengan membayangkan itu, ia meminta saudaranya untuk melanjutkan perjalanan sebab ia akan masuk kedalam hutan karena alasan tertentu. Ia membawa dirinya ke tempat dimana harimau betina sedang beristirahat. Menggantungkan pakaian dan perhiasannya di pohon, sekali lagi ia berpikir: “Aku harus bekerja demi kesejahteraan pihak lain. Kita harus berkasih sayang terhadap semua mahluk. Melayani mereka yang memerlukan bantuan kita merupakan kewajiban utama kita. Tubuhku yang kotor ini akan kukorbankan untuk menyelamatkan si harimau betina dan lima ekor anaknya. Semoga dengan perbuatan berjasa ini aku mencapai tingkat Samma Sambuddha dan menyelamatkan semua makhluk dari samudra Samsara! Semoga semua makhluk sejahtera dan bahagia!”

Tergerak oleh kasih sayang dan diilhami oleh semangat pengabdian yang tidak mementingkan diri sendiri, dengan gagah berani ia melompat ke tebing di dekat harimau betina. Akibat jatuh itu tidak menyebabkan kematian seketika. Si Harimau betina, walaupun kejam secara alami, berbelas kasihan terhadap Bodhisattva dan sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Sang Bodhisattva berpikir sebaliknya, “Pasti hewan yang malang ini terlalu lemah untuk memangsaku!” Jadi ia mencari senjata. Ia menemukan sebilah bambu, serta mendekati harimau betina, ia memenggal lehernya dan mati berlumuran darah. Harimau betina dengan rakus meminum darah dan memangsa daging dengan hanya meninggalkan tulang belulangnya saja.
Dalam cerita ditambahkan, bahwa pada saat Sang Bodhisattva mengorbankan tubuhnya, bumi bergetar, air samudra bergelombang, sinar matahari meredup, pandangan mata sejenak mengabur, para Deva menyerukan kata sadhu, dan bunga Parijata bertaburan bagaikan hujan dari surga.

Terpengaruh oleh gempa bumi, dua orang saudara tua itu dengan pasti menduga bahwa adik mereka telah menjadi mangsa si harimau betina. “Pasti, Mahasattva telah mengorbankan kehidupannya, karena ia telah berbicara dengan nada yang penuh kasih,” kata Maha Deva. Mereka berdua kembali dan menuju tempat kejadian. Mereka terkejut dan kagum melihat pemandangan yang tidak diharapkan itu. Apa yang mereka lihat bukanlah adik mereka yang tercinta tetapi setumpuk tulang yang di lumuri darah. Pada pohon didekatnya mereka melihat pakaian yang tergantung. Mereka menangis dan pingsan. Ketika siuman, mereka pulang ke rumah dengan berat hati.

Pada hari sang Bodhisattva mengorbankan kehidupannya, ibu ratu bermimpi bahwa ia meninggal, bahwa giginya tanggal, serta bahwa ia mengalami sakit bagaikan tubuhnya dicincang dengan senjata tajam. Lebih lanjut ia bermimpi bahwa seekor burung elang menukik dan menyambar salah satu dari merpati cantik yang bertengger di atap. Ratu merasa takut, dan ketika bangun ia teringat bahwa para pangeran telah pergi bertamasya di hutan. Ia bergegas menghadap raja dan menceritakan mimpi yang tidak menyenangkan itu.
Ketika diberi tahu bahwa para pangeran tersesat, ia mendorong raja untuk mengirim utusan guna mencari mereka. Beberapa menteri yang telah pergi lebih awal untuk mencari mereka, kembali ke istana dengan kabar duka tentang kematian pangeran termuda yang sangat disesalkan. Mendengar itu, tak seoarangpun dapat menahan diri untuk tidak menangis. Walaupun demikian, raja menghibur ratu serta menyiapkan seekor gajah, bergegas menuju ke hutan dengan para pembantunya serta membawa pulang dua orang anak yang sedang berduka.
Demikian dalam kesedihan mereka sehingga pada awalnya mereka tidak dapat berbicara. Selanjutnya dengan menghimpun semangat, mereka menerangkan kepada ibu mereka yang berduka tentang pengorbanan mulia adik mereka. Segera perintah diberikan oleh raja untuk membuat persiapan mereka semua untuk mengunjungi tempat kejadian yang tak terlupakan.
Semua tiba di tempat pada waktunya. Hanya dengan pemandangan tulang berlumuran darah yang tercecer di sana sini dari anak yang tercinta, baik raja maupun ratu jatuh pingsan. Brahmana Purohita segera menuangkan air cendana pada mereka dan mereka siuman kembali.
Setelah itu raja memerintahkan para menteri untuk mengumpulkan semua rambut, tulang serta pakaian, dan menimbunnya jadi satu, serta memberi penghormatan pada mereka. Setelah menasihati mereka untuk membangun Cetiya emas untuk menyucikan jasadnya, dengan hati sedih ia kembali ke istana. Cetiya tersebut kemudian diberi nama “Om Namo Buddha”. Pada akhir Jataka disebutkan bahwa Cetiya itu saat ini disebut “Namura”.

Sumber: Sang Buddha dan AjaranNya Jilid 2.

No comments:

Post a Comment