Saturday, February 28, 2009

Tukang Sayur dan Penjual Beras

Di depan rumah saya, sering lewat beberapa tukang sayur. Di antara mereka ada satu yang menarik perhatian. Bukan apa-apa, sebabnya adalah karena pakaiannya yang kumal, juga gerobak dorong yang berkesan seadanya. Keadaan demikian secara spontan menimbulkan keinginan saya untuk mempraktekkan “metta”. Maka dengan penuh semangat kesetiakawanan sosial, saya setiap kali selalu membeli dagangannya. Bahkan jika dia me-“mark-up” harga dagangannya, saya juga tidak peduli, kadang-kadang malah saya memberi lebih, dan tak mengharap kembalian. Demikian dermawannya saya, sehingga sering saya melihat tatapan mata si tukang sayur yang penuh kekaguman. Saya sendiri juga diam-diam senang, bangga, terharu dan mengagumi kedermawanan saya.

Alkisah, suatu hari ada seorang penjual beras yang datang. Dia menawarkan dengan harga yang menurut saya cukup murah, mengingat butiran berasnya yang besar, putih bersih seperti mutiara, berbau wangi pandan yang menimbulkan selera. Dia mengaku dari desa, dan berasnya tidak laku dijual di desa. Ditambah pula wajah lugu dan memelas si penjual beras, kontan pula tibul semangat “metta” di hati saya. Melihat antusiasme si penjual beras dalam menakar berasnya, memasukkannya ke karung dengan semangat pejuang ’45, kembali saya terharu atas kebaikhatian saya. Mempraktekkan “metta” memang menyenangkan, demikian pikir saya. Segera saja sekarung beras terisi penuh. Si penjual pergi dengan gembira setelah menerima uang, apa lagi saya juga mengulang kedermawanan saya, uang kembaliannya tidak saya minta.

Ketika seisi rumah sudah pulang, kami bersama-sama memasukkan isi karung ke tempat beras. Tapi apa yang terjadi? Bagian bawah karung bukanlah berisi beras, melainkan berisi gumpalan kertas koran. Total jendral, hanya setengah karung lebih yang terisi beras. Melihat ini, langsung timbul rasa malu dan naiklah amarah sampai ke ubun-ubun. Ditambah olokan yang mengusik keintelektualan saya, keluarlah sumpah serapah dari mulut ini. Sungguh mudahnya cinta kasih menjadi kebencian. Sungguh mudahnya mulut ini berkata-kata. Sungguh sulit berbicara dan berbuat benar.

Ketika perbuatan baik saya ditanggapi dengan tipuan, saya marah. Tapi apa bedanya si tukang sayur – yang sedikit sedikit demi sedikit berhasil mengeruk sejumlah uang dari kantung saya- dengan si penjual beras? Barangkali saja jumlah uang yang dikeruk si penjual beras justru lebih kecil dari si tukang sayur. Sebab utama karena saya merasa lebih cerdas dan lebih intelek dibanding si penjual beras. Saya merasa dikalahkan. Ternyata pengendalian diri saya hanya terbatas untuk situasi dan kondisi tertentu. Ternyata praktek “metta” saya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri.

Tapi tentu saja saya tidak begitu mudah menyerah. Otak intelektual saya langsung berkelebat secepat kilat. Akhirnya saya temukan jurus jitu, saya bukan membenci orangnya, melainkan perbuatannya. Mendapat jawaban ini, saya langsung menjadi senang. Ah, benar juga, jadi saya tidak sepenuhnya salah dalam membenci. Tapi benarkah demikian?

Rupanya seperti halnya gelombang suara dengan fase tertentu dapat menghilangkan suara lain yang fasenya berlawanan, ternyata kebencian tidaklah hilang, melainkan hanya tertekan oleh lawannya, cinta kasih. Ketika suara yang berlawanan fasenya, ketika cinta kasih menghilang, lawannya muncul kembali. Hanya jika seseorang dapat melepaskan diri dari kedua hal yang berlawanan, dari dualisme, barulah cinta kasih yang tanpa batas muncul.

“Seperti air yang menyejukkan bagi yang baik maupun buruk, dan melarutkan semua kotoran dan debu, demikian pula seharusnya kau mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap kawan dan lawan tanpa perbedaan. Dan setelah mencapai kesempurnaan dalam cinta kasih, kau akan mencapai pencerahan.’

(Jataka Nidanakatha 168,169)

No comments:

Post a Comment