Saturday, February 28, 2009

Mengaku Salah Belum Tentu Kalah

Dahulu kala ada sebuah cerita: di gunung ada dua kuil biarawan Buddha, bhiksu di kuil A kerap bertengkar, saling bermusuhan, dan hidup sengsara. Sebaliknya bhiksu di kuil B ramah tamah, setiap orang selalu diiringi dengan senyum di wajah dan hidup bahagia. Karenanya, kepala biara kuil A menjadi penasaran lalu datang minta petunjuk bhiksu dari kuil B. “Mengapa kalian bisa menjaga suasana gembira selamanya dalam biara?” Bhiksu dari kuil B menjawab, “Sebab kami kerap melakukan kesalahan.”

Di kala ketua dari kuil A merasa bingung, tiba-tiba ia melihat seorang bhiksu pulang tergesa-gesa, dan karena tidak hati-hati ia terpeleset saat masuk ke aula, bhiksu yang tengah membersihkan lantai segera menghampiri, dan membantunya berdiri sambil berkata, “Ini salahku, pel lantainya terlalu basah!” bhiksu yang berdiri di depan pintu juga ikut masuk dan dengan nada menyesal berkata: “Ini salahku, tidak memberitahumu kalau lantainya sedang dipel.” Bhiksu yang dibantu berdiri dengan perasaan bersalah dan menyalahkan dirinya itu berkata, “Tidak! Tidak! Ini salahku, saya sendiri yang tidak berhati-hati!” Kepala biara dari kuil A yang minta petunjuk menyaksikan pemandangan itu, melihat itu ia pun mengerti, dan sudah tahu jawabannya.

Kadang-kadang, demi melindungi diri sendiri dan mengelakkan tanggung jawab lalu bertengkar dengan orang lain. Mengaku salah itu belum tentu kalah, sebab dengan mengaku salah bukan saja bisa mengekspresikan tempaan individu, mengintrospeksi diri memberi dorongan semangat, bahkan bisa mengubah kekerasan menjadi kedamaian. Jika terjadi bentrokan antara teman, dan salah satu pihak lebih dulu mengaku salah, maka api peperangan pasti akan mereda separuh.

Dalam sepanjang hidup manusia, selalu akan memerankan berbagai peran yang tidak sama. Dalam keluarga, ketika budi pekerti anak-anak buruk, kita semestinya introspeksi diri apakah belum sepenuhnya menjalankan kewajiban mendidik mereka. Di kantor, ketika prestasi kerja bawahan tidak memuaskan, kita seyogyanya introspeksi diri apakah terjadi masalah dalam hal memberikan bimbingan atau pengelolaan. Di masyarakat, ketika semua orang menyalahkan buruknya lingkungan, kita semestinya introspeksi diri apakah kita sendirilah yang justru merusak lingkungan itu.

Anda dan saya yang tidak berarti ini mungkin tidak mampu berbuat apa-apa membalikkan jalannya peristiwa dunia, namun jika setiap jiwa dan individu bisa membina keberanian mengakui kesalahan, sikap yang bertanggung jawab terhadap perilakku induvidu, maka kedamaian dan kebahagiaan dalam sanubari itu akan terus tersebar luas.

No comments:

Post a Comment