Saturday, February 28, 2009

Penenun Tua

Konon terdapatlah seorang penenun tua yang bermukim di kawasan Tibet dengan beberapa anak laki-lakinya. Diwaktu mudanya, penenun ini siang malam bekerja pada alat tenunnya menghasilkan bahan-bahan baju, dengan tidak pernah merenungkan soal pri kebajikan dalam kehidupannya maupun lingkungan disekitarnya. Degan tekun penenun ini bekerja dan bekerja setiap hari sepanjang hidupnya sehingga ia berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang amat banyak dari jerih payahnya itu, kehidupannya sekarang menjadi makmur. Pada saatnya, seorang demi seorang anak-anaknya yang telah dewasa dinikahkannya dengan perempuan dari keluarga baik-baik. Keluarganya menjadi berkembang dan besar ketika cucu-cucu mulai lahir kedalam lingkungan tersebut.

Segala sesuatu memang tidak abadi. Pada suatu hari, istri penenun tua itupun meninggal, sehingga penenun tua itu terbengkalai, tidak ada yang merawat dan melayani kebutuhannya, sampaipun pada saat makannya.

Keadaan yang tidak menyenangkan ini diringankan oleh para menantu perempuannya yang secara bergiliran melayaninya. Sampailah pada suatu saat ketika ia menjadi seorang tua yang tidak berdaya lagi, tidak sanggup bekerja dan hanya menggantungkan diri kepada belas kasihan anak-anaknya. Para tetangga dan kaum keluarganya mengeluarkan kata ejekan yang mencemoohkan dengan kata-kata menghina: “Si orang tua kaya itu kini sudah tak dapat mempergunakan hartanya lagi.”.

Kian lama para menantunya tidak dapat mentolerir lagi keadaan si penenun yang kian lama kian lemah itu, setiap kali ia datang bergilir ke rumah mereka. Mereka berpendapat, bahwa keadaan mertuanya itu membuat rumah tangga mereka menjadi tidak hangat dan menodai nama baik mereka.
Setelah membuat suatu rapat keluarga, didapatlah suatu keputusan yang menyatakan bahwa penenun tua itu akan menempati sebuah gubuk yang terletak di halaman belakang rumah anak tertua dan dengan bergiliran mereka akan menyediakan makannya. Menurut faham mereka, ayahnya harus merasa puas dengan hadiah kediaman demikian dan mereka merasa bangga setelah mengambil keputusan itu. Dengan demikian, penenun tua itupun pindahlah ke tempat kediamannya itu.

Alkisah, tak lama setelah penggusuran itu terjadi, datanglah kerumah anak tertua tersebut seorang bhikkhu yang mendapat bingkisan istimewa serta diundang untuk bermalam disana. Dengan sopan santun, sang bhikkhu tersebut menolaknya dengan mengatakan bahwa menurut ikrarnya, ia tidak dibenarkan untuk bermalam di rumah seorang perumah tangga, dalam naungan atap yang sama. Namun beliau menyanggupi untuk tidur di dalam taman anak tertua itu.

Malam tiba, penenun tua itu melihat sinar lampu dalam taman anaknya, maka iapun keluarlah dari gubuknya dan menghampiri sinar itu. Didapatinya seorang bhikkhu yang hendak menginap itu, sehingga dengan sangat ramahnya, dipersilahkannya beliau untuk masuk kedalam gubuknya. Dalam percakapan berikutnya sang rahib itu bertanya kepada si penenun tua siapakah dia gerangan. Maka jawabnya:”O, Tuan yang mulia! Paman ini adalah orang tua dari pemilik rumah, dimana paman telah memeliharanya sejak kecil, membesarkannya serta mengawinkannya. Ketahuilah, paman adalah pemilik rumah ini dahulu, namun (si penenun bercakap dengan tersendat-sendat, menyayat hati) sebaliknya sekarang paman ini digusur kesini dan dicemooh oleh anak-menantuku karena paman sudah tidak kuat lagi bekerja dan keadaan ini sangat memalukan mereka. Dalam usia tuaku yang sangat menyedihkan ini paman telah disingkirkan dari khalayak ramai, paman dibiarkan merana dan kesepian”. Penenun tua itu menghentikan perkataannya karena air mata mulai mengalir turun membasahi wajahnya yang kusut. Sang bhikkhu mendengarkan penuturan itu dengan terpaku dan terharu, prihatin kepada keadaaan orang tua itu.

Dengan lembut beliau berkata: “Sudahlah, paman. Bila paman menangisi penderitaan sekecil ini, bagaimana paman akan sanggup mengatasi penderitaan yang akan datang pada tumimbal lahir berikutnya? Apa yang menimpa paman sekarang ternyata hanya menyangkut segi kebendaan, lahiriah, sedangkan paman masih harus menggali permata ratna manikam batiniah dari jasa-jasa paman yang seharusnya paman nikmati. Paman kini sedang mengalami penderitaan, kelak dalam tumimbal lahirpun akan menderita. Padahal paman menderita ini karena pengetrapan perbuatan-perbuatan yang salah semasa hidup sekarang, sedangkan paman masih menggugat ketidak adilan itu pada anak paman”.

Mendengar itu, penenun tua itu menjadi terkejut dan sadar, lalu berkata:”O, Tuan yang kami muliakan, kata-kata tuan itu sangat jitu, Memang, dimasa mudaku, disaat kami masih mempunyai kesempatan untuk melatih kemurnian akhlak batin kami itu, ternyata telah kusia-siakan. Dan setelah setua ini, paman masih berpamrih untuk mendapatkan kepuasan menikmati kebahagiaan masa tuaku. Apakah gunanya obat mujarab bagi orang tua seperti paman ini yang selekasnya akan menutup mata!” “Paman,” jawab rahib tersebut,.”Kami mengetahui obat mujarab bagi paman, dan kami sanggup memberikannya kepada paman”.
Mendengar itu, penenun tua itu serta merta memasang telinganya siap sedia mendegarkan wejangan berharga dari rahib itu. Inilah petunjuk rahib itu: “Paman harus segera melaksanakan perkembangan meditasi cermat dengan merenungkan terhadap ketiga mata pokok tentang ketidak kekalan dari semua makhluk yang berpancaindera tentang keseimbangan.(lebih lanjut disinggung soal Sutra Prajna Paramita Hidarya). Segala sesuatu itu penuh dengan penderitaan.”
Si penenun tua itu mendengarkan dengan seksama dan ia telah dapat mencerab serta faham dan yakin akan makna artinya, dalam sekejab saja ia telah hafal akan petunjuk meditasi itu,walaupun keesokan harinya tamunya pergi meninggalkannya, penenun tua itu telah sanggup mengetrapkan ajarannya ke dalam hidupnya.

Mulai hari itu. Penenun tua itu melatih meditasi atas dasar mata pokok menurut petunjuk rahib itu. Bila dahulu waktunya yang terluang dipakai untuk menangis, meratapi penderitaannya itu kini telah dirubahnya untuk melaksanakan meditasi dengan tekun dan patuh atas petunjuk-petunjuk itu.

Lambat laun keadaannya berubah dengan sangat kentara, ia tidak lagi bersedih hati tetapi kelihatan gembira serta rajin merawat dirinya. Perubahan besar ini disaksikan oleh anak mantunya disaat giliran menjenguk mereka kesana.

Bahkan tatkala penenun tua itu diomeli: “Tua bangka, tak berguna, hanya menjadi beban perawatan dan memberi makan saja …”, diterimanya saja tanpa mengadakan perlawanan dan dengan diam ia mengampuni perbuatan tercela itu.

Tahun demi tahun berlalu, sehingga telah genaplah 12 tahun telah dijalani. Selama itu penenun tua itu tetap tekun melaksanakan meditasi dengan tenang dan sehat dikediamannya yang kecil.dalam taman yang sama. Ia telah menimbun segudang penuh kebajikan, besarnya melebihi tumpukan harta kekayaan yang pernah dikumpulkannya dulu. Wajahnya berubah agung, namun hal ini tidak diperhatikan anak mantunya.

Pada suatu hari, keluarga besar itu merayakan suatu pesta besar sampai jauh malam. Seorang menantu penenun tua itu tiba-tiba teringat belum memberi makanan kepada penenun tua itu. Dengan perasaan menyesal, dibawanya sedikit makanan ke gubuk kecil ditaman, namun ia tertegun melihat suatu sinar terang yang mengejutkan daripadanya. Karena ingin tahu, iapun mengintip ke dalam gubuk itu, dimana ia melihat beberapa dewa dewi sebanyak 15 orang dengan wajah bersinar sedang melayani penenun tua itu dengan penuh rasa hormat.

Menyaksikan pemandangan yang sangat luar biasa itu, sang menantu itu serta merta berlari masuk ke dalam rumah besar untuk memberi tahu kepada kaum keluarganya. Merekapun menyaksikan pemandangan aneh tersebut dan sambil kembali ke rumah mereka, mereka menyatakan bahwa mereka telah melihat penghuni halus. Pada keesokan harinya, mereka kembali meninjau penenun tua itu, yang tampak berseri-seri dan gembira serta sehat. Wajahnya bersinar agung dan terang. Penenun tua itu berdiam diri terhadap kejadian pada malam itu, karena ia merasa kurang sanggup menjelaskannya. Namun peristiwa itu telah tersiar dengan luas, sehingga mendatangkan para penduduk yang merasa ingin tahu, mereka menjenguk ketempat kediaman si penenun tua yang menjadi suci itu. Mereka memberikan tanggapan yang sama bahwa melihat wajah penenun tua itu saja sudah memberikan kebahagiaan pada mereka. Seluruh negara Tibet akhirnya mengenal beliau yang terkenal dengan sebutan: Sang Tantri. Beliau akhitnya mangkat dan tumimbal lahir lagi kedalam alam dewa.

Diangkat dari tulisan: Dr.H. Heckar: Wissen Und Wandel – Sati Patthana & Its Application To Modern Life, Asuhan M.U. Pannasiri.

No comments:

Post a Comment