Saturday, February 28, 2009

Sumber Batin

Untuk mengetahui bagaimana orang bertingkah laku memerlukan intelegensi, tetapi untuk mengetahui diri sendiri memerlukan kebijaksanaan.
Untuk memanajemeni kehidupan oerang lain memerlukan kekuatan tetapi untuk memanajemeni kehidupan diri sendiri memerlukan kekuatan yang sebenarnya.
Jika saya puas denga apa yang saya miliki, saya dapat hidup sederhana dan menikmati baik kemakmuran maupun waktu senggang.
Jika tujuan saya jelas, saya dapat mencapainya tanpa susah-susah.
Jika saya dalam kedamaian atas diri sendiri, saya tidak akan menggunakan kekuatan hidup saya untuk terjun dalam konflik.
Jika saya telah belajar untuk ikhlas, saya tak perlu takut sekarat.
Mati tidaklah menakutkan, sebab saya sendiri tahu bagaimana untuk pergi, dan saya tahu sifat keabadian.

Dikutip dari kepemimpinan Tao – John Heidder

Suatu ketika, terdapat seorang pemuda ditepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air didepannya. Seluruh penjuru mata angin telah dilewatinya, namun tak ada satu pun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana. “Sedang apa kau disini anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “Apa yang kau risaukan?” Anak muda itu menoleh kesamping., “Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu di dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dipandangnya wajah lelah didepannya. Lalu ia mulai bicara, “Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.” Mereka berpandangan. “Ya .. tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu.” Sang kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang beterbangan di sana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah.” Tampak sang kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan di sisi kanan kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu. “Begitukan caramu mengejar kebahagiaan” Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli pada apa yang kau rusak?” Sang kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.” Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kallbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.

No comments:

Post a Comment